Confession #1 : Buah Berpikir Sesaat, Sesal Berkepanjangan

Mmmm, kasih prolog dulu deh. Cerita yang tertampang di bawah ini adalah buah dari kesendirian, kesepian gue semasa terasing di suatu Provinsi Banten, kota Labuan tepatnya. Sekitar beberapa meter dari Pantai Carita.
Kalau kamu flip dan flop ingin tahu bagaimana rasanya hidup sepi sendiri (walaupun sebenernya gue ga sendirian juga), sungguh, gue nggak merekomendasikan banget deh, melarikan diri untuk mencari kedamaian dan ketentraman hati ke tempat yang salah (ya iyalah! kalo tau salah ngapain juga dijadiin destinasi? dodol surodol :p)

Jadi begini, i will let you know dude, setahun yang lalu terhitung sejak bulan Oktober/November (gue lupa) 2009 gw resmi memutuskan untuk meneruskan kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di daerah Pandeglang, Banten. Pada awalnya gue kesana bertujuan untuk membantu bibi gue (adeknya bokap) yang punya usaha mebel yang berencana pergi haji di bulan November 2009. Mereka minta bantuan gue untuk mengelola usaha mereka (tokol mebel) itu selama mereka pergi haji, karena memang kebetulan pada saat itu gue lagi 'idle' a.k.a. nganggur. :))

Karena memang gue orang baik hati dan suka menolong, dateng deh gue kesana dengan tujuan mengemban misi suci ngebantuin sodara yang mau pergi haji buat ngurusin tokonya barang sebulan-dua bulan (paling lama). Singkat cerita, gue ditawarin kuliah disana untuk ngambil program S1. Mereka (bibi dan om gue) menjelaskan, kalau di Provinsi Banten ini kondisi dunia pendidikannya masih tergolong tertinggal dibandingkan dengan provnsi lainnya di Pulau Jawa. Ya, tentu saja. Secara Banten adalah provinsi yang baru berdiri sendiri sejak tahun 2000, yang pada awalnya merupakan bagian dari Provinsi Jawa Barat. Isu punya isu sih, katanya Banten ini menuntut untuk dipisahkan dari Provinsi Jawa Barat karena merasa cuma Kota Bandung aja yang maju, yang jadi prioritas. Sedangkan kota-kota lainnya jauh tertinggal (katanya lho, ini katanya).

Sekali lagi, karena memang gue orangnya baik hati dan mudah terenyuh (jijay gak dengernya? hahaha), apalagi setelah mengetahui kondisi sebenarnya di daerah pedalaman sana (ya nggak dalem-dalem amat. cuma memang agak-sangat-jauh dari pusat keramaian kota) dan gue memang pernah bertekad untuk jadi seorang pengajar, gue terimalah tawaran itu. <---- sungguh keputusan asal keluar yang belom gue pikirkan dampak jangka panjangnya. Gue terima (asal terima, karena ga enak juga nolak-nolak niat baik orang). Gue memilih Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jurusan Bahasa Inggris. (memang minat gue cenderung kesana). Dan saat itu gue nggak menyadari, kalo gue yang belum pernah mengambil keputusan besar dalam hal pendidikan dengan program S1 (baca: 4 tahun), telah mengambil jalan yang salah dengan berpikir tidak matang. Sangat tidak matang. :(


Benar saja, gue yang biasa berpikir praktis, ga neko-neko, dan terbiasa dengan sikap acuh dan mudah lupa akan janji-nya orang-orang kota, bagai tersambar petir di siang bolong sebolong langit di kota Labuan (asli panas banget di sana!). Bibi dan Om gue ternyata gak main-main dengan tawarannya semalem. Mereka langsung mengubungi relasinya yang merupakan staff rektorat di kampus tujuan itu untuk menitipkan gue masuk ke sana. SHOCKED. Suer gue shock. Gue bahkan menjawab asal-asalan tawaran kuliah semalem. Orang tua gue juga kaget pas gue nelpon mereka menceritakan tawaran kuliah di sana. Mereka (bibi dan om gue) sama sekali gak memberikan gue peluang buat kompromi sama orangtua gue. Mereka minta gue menghubungi ortu selagi berada di dalem satu mobil yang notabene gak tersedia kesempatan untuk memberikan sinyal-sinyal penolakan dan permohonan bantuan untuk TIDAK menerima tawaran itu. Ya, memang gue merasa ga enak dan sulit banget untuk menolak tawaran itu sendiri :( gue ga berani. Gue udah mikir kalo orang tua pasti ga setuju dan mereka bakal nggak ngebolehin. Benar memang, ortu juga kaget dan bingung kok gue mau kuliah disana, nyokap sampe marah-marah gara-gara gue dulu pernah nolak gak mau masuk UNJ buat jadi guru. Itu dulu, gue masih ga punya pikiran buat rencana setelah lulus STM (iya gua anak STM nih, weee..... :P). Tapi ternyata, seteah lulus gue masih juga belum bisa membuat keputusan yang benar untuk masa depan gue :( asal-asalan gitu, gak serius, ujung-ujungnya jadi masalah buat gue sendiri.... :(

Panjang cerita, akhirnya gue kuliah disana. Sungguh, sebenarnya gue salut sama bibi dan om gue ini. Kalo mereka punya keinginan mereka akan langsung bergerak untuk mewujudkan keinginan mereka tersebut. DAMN, itulah yang memang menjadi keinginan mereka. Pelajaran buat gue: kenali dulu orang-orang yang mau memberikan pertolongan. Apakah mereka tulus atau enggak. Sampai sini gue baru tahu siapa mereka. Dan apa maskud serta tujuan mereka menawarkan kuliah disana. I really don't know them both, i just found one reason, and i started to hate them.

*This is the part i cannot tell you. It's gonna be sounds like a "SINETRON", fyi*

Dimulailah hari-hari penuh kekesalan gue. Selama mereka pergi gue baru mendengar selentingan-selentingan yang gak enak mengenai mereka. Bagaimana mereka, siapa mereka, seperti apa mereka. Gue bener-bener kaget dan merasa sangat bodoh ada disana waktu itu :((
Kadang, gue merasa, memang akan sangat lebih baik jika kita tidak terlalu mengenal keluarga kita (loh?). Gue yang merasa selama ini semuanya normal-normal saja dan tidak ada masalah yang berarti di dalam kehidupan gue, tiba-tiba dihadapkan dengan satu masalah yang BENAR-BENAR bikin gue mual! Dasar kolot! Gue gak suka dan jangan libatkan gue dalam permasalahan yang kayak begini! I'm just a kid and let me be! Ternyata, setiap masyarakat daerah mungkin punya caranya sendiri dalam menghadapi suatu masalah. Dan gue GAK SUKA sama caranya mereka menghadapi suatu perkara. Ditambah lagi gaya bergaul yang bener-bener beda dan bukan gue banget. Hah, sebentar-sebentar mesti peduliin pandangan orang, penilaian orang, apa kata orang. Peduli Se*an! Gue rasa bisa cepet tua tuh kalo lebih lama disana. Omongan gak bisa yang ringan-ringan aja apa kalo ngobrol sama gue. Masalah-masalah pribadi orang pake diomongin-omongin kesana-sini. Ibu-ibu pengajian yang gak terima dicuekin temennya sendiri. Tetangga yang tersinggung gara-gara ga diundang acara nikahan anak tetangga yang lain. Yaelaaah...... gak ada esensinya banget sih perkaranya. Kolot. Intinya, masyarakat daerah itu memiliki tingkat kepekaan (baca: kecemburuan) yang sungguh tinggi dibanding masyarakat kota yang memang, terkenal dengan keacuhannya. Mungkin, karena memang gue tumbuh di lingkungan kota makanya agak sulit juga menghadapi ritme hidup masyarakat yang bisa dikatakan hampir 180 derajat berbeda.

Begitulah, gue menjalani hari-hari dengan suram dan penuh rasa enggan. Mati segan hidup tak mau rasanya (lebay dikit).
Setiap pulang kuliah gue maleeeess banget balik. Harus segera bantuin bibi dan om gue di tokonya (baca: kerja). Ga punya kesempatan buat ikut-ikut kegiatan mahasiswa pada umumnya yang aktif di UKM-UKM yang mereka minati. Pun kalau ikut, gue ga enak kalo terus-terusan pergi buat ngikutin kegiatan UKM. :-s Ditambah rasa enggan gue untuk ketemu dua orang itu. Setiap toko udah tutup gue pulang, mandi, solat magrib, ngunci pintu kamar, baca Quran nungguin Isya, setelah Isya gue belajar, nulis sebentar ngeluarin unek2, di dalem sampe pagi, nangis. Menghindari pembicaraan sebisa mungkin dengan mereka. Paginya, selalu bersiap-siap langsung ke kampus. Berbicara sewajarnya saja dengan pemilik rumah. I hate ya'll.

Ya Allah, menyedihkan banget kondisi gue waktu itu. Penuh kebencian. Penuh tekanan.
Sampai akhirnya gue cerita sama salah satu teman di kampus, tentang keadaan yang sebenarnya. Untung aja gue cerita sama orang yang gak salah. Walaupun cablak juga dia bisa ngertiin kondisi gue. Ngerti gimana rasanya gak punya kebebasan. Ngerti gimana rasanya penuh dengan tekanan. Ngerti gimana hidup penuh tuntutan. :(
Makasih ya, buat temen gue Intan :) dari lo akhirnya gue berani untuk pergi dari tempat itu... Berani membuang semua pikiran-pikiran apa yang akan orang katakan dan harus mulai dari mana untuk menjelaskan ke orang tua. Dan sekarang gue udah di tempat dimana gue seharusnya berada. Bagaimana pun keadaannya, sekarang gue bersyukur bisa ada di keluarga sendiri. Gue cinta keluarga gue, dengan segala kekurangan dan kelebihannya. :')

Ya Allah, terima kasih atas semua nikmat yang telah Engkau berikan pada hamba.
Ampuni hamba dari segala bentuk kekufuran atas nikmat yang telah disia-siakan.
Hilangkan rasa benci yang menghinggapi hati ini Ya Allah :'(

Amin.....

Begitulah, buah keputusan yang dibuat dengan sangat tidak matang. Tidak berpikir panjang. Hanya memberikan penyesalan.
Tapi, semua kejadian memiliki hal yang bisa dijadikan pelajaran. Gue percaya semua ini harus dijadikan pelajaran untuk proses pendewasaan. Gue gak selamanya mau jadi anak kecil kan?
Alhamdulillah, agak hilang penat gue setelah bikin summary kepedihan ini.... (lebay lagi) :)

Comments

Popular posts from this blog

Mind Mapping

One Way to Stay Sane

dont remind me